REFORMASI
Reformasi secara umum berarti perubahan
terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia,
kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan
presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru
Kendati
demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari
gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16,
yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes
Calvin, dll.
Sejarah reformasi di Indonesia
dimulai pada tahun 1998 tepatnya pada pengundurun diri presiden Soeharto
sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998
sampai sekarang ini sudah begitu banyak reformasi yang terjadi di Indonesia
baik dalam Politik, Hukum, institusi / kelembagaan dan lain-lain salah satunya
bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia terpisah dari rumpun ABRI sehingga
menjadi TNI dan POLRI yang masing-masing diatur dengan suatu Undang-Undang
Pertahanan dan Undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU
No.2 tahun 2002)
Kepolisian Negara Republik
Indonesia segera membenahi diri dengan mengeluarkan suatu peraturan tentang pelaksanakan
Reformasi Birokrasi Polri (RBP) dengan harapan Polri bisa berubah menjadi lebih
baik, lebih maju, mandiri dan dipercaya masyarakat. Reformasi Birokrasi Polri
terus dilakukan di tubuh Polri sebagai komitmen moral reformasi birokrasi polri
.
Kapolri telah mengeluarkan
peraturan No 22 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tatacara Kerja (SOTK)
Kepolisian ditingkat Polda dan Peraturan Kapolri Nomor 23 tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan Tatacara Kerja (SOTK) Kepolisian tingkat Polres dan
Polsek.
SOTK ini dibuat dari adanya
Reformasi Birokrasi Polri yang tentunya sudah dikaji secara ilmiah secara
Filosofis bagaimana Lembaga ini dapat membenahi dirinya. Salah satu bagian yang
lahir dari adanya SOTK tersebut adalah adanya `struktur organisasi tambahan
pada Polri baik tingkat Polda maupun tingkat Polres diantaranya adalah
Direktorat Tahanan dan Barangbukti (Tingkat Polda) dan Satuan Tahanan dan
Barangbukti (tingkat Polres).
Dengan terbentuknya Tahti ini
harapan Polri kedepan lebih maju, transfaran, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat
dibidang penanganan Tahanan terkait Hak Azasi Manusia dan penanganan
Barangbukti terkait pertanggungjawaban hukum tentang status barangbukti yang
ada di Kepolisian.
Pemikir dan pembuat Pertaturan
ini cukup peka dan pandai dalam hal kajian hukum tentang kemajuan suatu lembaga
institusi Polri kedepan yang mana Tahti berdiri sendiri dibawah Kapolda
(tingkat Polda) dibawah Kapolres (tingkat Polres) dengan tujuan agar dapat
melaksanakan tugas pokok fungsinya secara mandiri, transfaran dan akuntabel
dengan harapan tidak adanya interpensi dalam pelaksanaan tugasnya, sebelum
Reformasi Birokrasi Polri Tahti ini sudah pernah ada akan tetapi berada dibawah
fungsi Satuan Reserse (Batahti), akan tetapi tugas pokoknya kurang maksimal
karena kewenangannya hanya terbatas pada fungsi Reserse.
Tahti
ini harus tetap ada dan
berdiri sendiri (Independen) agar tidak adanya interpensi dari fungsi
manapun, sebagaimana Institusi Polri harus Independen berada dibawah
Presiden dan memang
seharusnya Sat Tahti dibesarkan dan kuat bukan dirampingkan apabila
tujuan Polri kedepan
ingin lebih maju sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan adanya
Reformasi
Birokrasi Polri Tahti ini tidak hanya merawat tahanan dan pengelolaan
barangbukti salah satu fungsi saja misalnya Reserse akan tetapi termasuk
juga tahanan dan barangbukti Narkoba
dan Lalulintas, apabila berada dibawah salah satu fungsi maka
kewenangannya
terbatas karena secara struktural bertanggungjawab kepada fungsi
tersebut dan tidak akan memikili kewenangan penanganan pada fungsi
lainnya, Hal ini sebagai bukti Reformasi Birokrasi dalam rangka
pelayanan prima dan transfaransi.
Tasikmalaya, November
2014
Kasat Tahti
Ipda Tudiman, SH
0 komentar:
Posting Komentar